Selasa, 12 April 2011

Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!

Jumat, 8 April 2011 | 10:45 WIB
Oleh Yudhistira ANM Massardi

KOMPAS.com - Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai, --katakanlah hingga dua dekade ke depan--, yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur. Sekarang saja ada sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur.

Jumlah penganggur itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun.

Dalam "kalimat lain", ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan pendidikan di jenjangnya. Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru bangsa bersekolah hingga ke perguruan tinggi?

Jika jawabannya agar mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang. Jika sebagian besar lapangan kerja hanya tersedia untuk lulusan SD, lalu untuk apa anak-anak kita harus buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?

Sir Ken Robinson, profesor pakar pendidikan dan kreativitas dari Inggris, dalam orasi-orasinya, yang menyentakkan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi inflasi gelar akademis sehingga ketersediaannya melampaui tingkat kebutuhan. Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot.

Lebih dari itu, ia menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para siswa. Maka, harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan pembangunan kreativitas.

Paul Krugman, kolumnis The New York Times yang disegani, dalam tulisannya pada 6 Maret 2011, menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di level menengah— yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji tinggi--, kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja untuk yang bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh.

Kreativitas dan imajinasi

Fakta lokal dan kondisi global tersebut harus segera diantisipasi oleh para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan. Persepsi kultural dan sosial yang mengangankan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin mudah mendapatkan pekerjaan adalah mimpi di siang bolong!

Namun, jika orientasi masyarakat tetap untuk "jadi pegawai", yang harus difasilitasi adalah sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan murah dan singkat. Misalnya untuk menempati posisi operator, baik yang manual seperti pekerjaan di bidang konstruksi, manufaktur, transportasi, pertanian, ataupun yang berbasis komputer di perkantoran.

Untuk itu, tak perlu embel-embel (sekolah) "bertaraf internasional" yang menggelikan itu karena komputer sudah dibuat dengan standar internasional. Akan tetapi, kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini.

Maka, diperlukan metode pengajaran yang tak hanya membangun kecerdasan visual-auditori-kinestetik, juga kreativitas dan kemandirian. Kata kuncinya adalah "kreativitas" dan "imajinasi"; dua hal yang belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun!

Zaman terus berubah. Sistem pendidikan dan paradigma usang harus diganti dengan yang baru. Era teknologi analog sudah ketinggalan zaman. Kini kita sudah memasuki era digital. Itu artinya, konsep tentang ruang dan waktu pun berubah.

Hal-hal yang tadinya dikerjakan dalam waktu panjang, dengan biaya tinggi, dan banyak pekerja, jadi lebih ringkas. Maka, tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan baru harus bisa membangun semangat "cinta belajar" pada semua peserta didik sejak awal. Dengan spirit dan mentalitas "cinta belajar", apa pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.

Membangun semangat "cinta belajar" tak perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun melalui telepon genggam. Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan.

Anak-anak cukup sekolah 12 tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada.

Penulis adalah Sastrawan; Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi



Renungan, untuk kebanyakan orang yang masih menganggap ijazah itu lebih penting daripada 'isi kepala' dan kreativitas. Bagi kebanyakan orang yang masih bermental dan berhasrat menjadi 'pekerja', daripada menjadi 'pencipta pekerjaan'.
Dan yang paling penting, kita harus mengaplikasikan ilmu yang kita punya untuk bisa bermanfaat, berguna, membantu dan menolong sesama makhluk ciptaan-Nya.

Kamis, 07 April 2011

Iwan Abdulrachman, ”Pada Pohon Saja Kita tidak Respek!”


IA membekap mulut dan hidung saya dengan telapak tangannya. Sampai beberapa detik saya masih bisa bertahan tanpa oksigen. Tapi, tak sampai dua menit saya sudah merasakan sesak dan untunglah ia segera melepaskan telapak tangannya dari mulut dan hidung saya. Begitu bekapan itu terlepas, saya langsung menghirup napas, mengisi penuh paru-paru saya dengan oksigen.

"Oksigen yang barusan Ahda hirup, pohon ini yang bikin," kata Iwan Abdulrachman sambil menunjuk pada pohon cemara yang tinggi menjulang di dekat kami. "Nah, pernahkah kita berpikir tentang hal itu ketika kita memandang pohon? Ada rasa terima kasih? Itulah pertanyaan yang paling gampang untuk mengetahui bagaimana seringnya kita tidak punya batin terhadap pengetahuan kita pada banyak hal. Bahkan, tentang sebuah pohon saja batin kita tidak terusik kalau tidak pernah dibekem dulu. Ini yang ingin saya lakukan pada Pak Danny (Danny Setiawan Gubernur Jabar) dan H.A.M. Ruslan (Ketua DPRD Jabar). Karena saya yakin setelah merasakan dibekem, apalagi kalau di hutan, jika tidak terjadi perubahan pada diri kita dalam melihat alam, bukan jelema lagi!"

Ia lalu duduk kembali, sambil memperbaiki letak gitar yang masih berada dalam tempatnya. Dengan petikan gitarnya itulah ia selalu menyenandungkan sejumlah lagu yang sampai hari ini masih digemari, meski lagu-lagu itu digubahnya pada akhir tahun 1960-an. Lagu-lagu balada yang lembut dan puitis dengan imajinasi, metafor, dan citraan alam yang menjadi kekuatan liriknya. Sebutlah, "1.000 Mil Lebih Sedepa", "Mentari", atau gubahannya yang kemudian dipopulerkan oleh Bimbo, seperti "Flamboyan" dan "Melati dari Jayagiri".

Jumlah penonton yang melebihi kapasitas tempat duduk dalam konser tunggalnya di sebuah hotel di Bandung (Sabtu-3/6) yang lalu sekali lagi membuktikan bagaimana lagu-lagu gubahannya tetap disukai dan enak didengar. Tak terkecuali oleh mereka yang belum lahir ketika lagu itu populer pada dasa warna 1970-an.

Berbeda dengan lagu-lagu bertemakan lingkungan hidup yang kerap meneriakkan protes atau yang terkesan jadi kampanye, dalam lagu-lagu gubahannya alam hadir sebagai bayangan dan lanskap yang menggetarkan, meski tema lagu itu tidak bertemakan alam dan lingkungan hidup. Sebutlah, "1000 Mil Lebih Sedepa", lagu yang digubahnya ketika ia berada di pedalaman Kalimantan yang melukiskan kerinduannya pada rumah dan suasana Bandung utara pada Sabtu sore. Demikian pula dengan kesedihan, harapan, dan semangat manusia yang dipersonifikasikan dalam bunga flamboyan yang berguguran dalam lagu "Flamboyan".

"Siapa bilang lagu saya itu lagu lingkungan? Tidak ada. Tidak satupun lagu yang bertemakan lingkungan. Itu lagu kehidupan saya. Bahwa kehidupan saya dipengaruhi oleh lingkungan, itulah yang terekspresikan," ujarnya.

Tapi, alam adalah nuansa dan roh yang telah luluh ke dalam ekspresi lagu-lagu gubahan Iwan Abdulrachman. Tak hanya dalam pilihan diksi dan cara pengungkapan liriknya, namun juga yang terasa pada bangun musikalitasnya. Alam sebagai simbol dan metafor di situ tak hanya hadir sebagai satu kelembutan serta keindahan yang menakjubkan, namun juga tak jarang jadi misteri yang menggetarkan, seperti terasa dalam lagu "Sejuta Kabut", "Tajam tak Bertepi", atau lirik gubahannya untuk lagu "Burung Camar" yang dibawakan oleh Vina Vanduwinata, yang menganugerahinya Kawakami Prize dalam World Song Festival di Tokyo tahun 1985.

**

Iwan Abdulrachman sebagai penggubah lagu, karya-karya lelaki kelahiran Sumedang 3 September 1947 memang tak bisa dipisahkan dari nuansa alam. Bahkan alam telah menjadi bagian dari biografi hidup dan aktivitas kesehariannya hingga hari ini. Meski ia mengaku telah menyanyi sejak SD, bahkan pernah dipercaya memimpin koor sekolah, namun kegiatannya sebagai pencinta alam yang dimulainya sejak remaja sangat berpengaruh ke dalam proses kreatifnya.

"Sejak usia 17 tahun saya sudah masuk pencinta alam, Wanadri. Saya paling muda waktu itu. Itulah masa yang membentuk identitas saya. Ekspresi dari kepribadian kita memang amat dipengaruhi oleh pencarian identitas saat itu,"ujar alumnus Fakultas Pertanian Unpad ini.

Bagi suami dari Dr. Tetet Januarsih M.S. ini pohon, sungai, gunung, dan seluruh alam bukanlah melulu benda. Atas penghayatan inilah ia pun memiliki pengertian sendiri terhadap peristiwa bernama konser, yang tak melulu berarti menyanyi di depan ratusan atau ribuan penonton. Tapi juga di tepi pantai hingga di kawah Gunung Tangkubanparahu, seperti yang kerap dilakukannya. Ia percaya bahwa alam juga bisa mendengar.

Sebagai orang yang sejak tahun 1964 aktif dalam kegiatan pencinta alam, sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua Wanadri (1970-1974) serta aktif dalam berbagai misi SAR (Search and Resque) kemanusiaan, hingga hari ini masih aktif dalam bidang pendidikan yang berkaitan dengan kegiatan di alam terbuka. Sedang dalam sosoknya sebagai seorang musisi ayah 5 anak dan 3 cucu ini, pernah tergabung dalam kelompok musik Band Aneka Nada Yunior, Aneka Nada, dan Group Bimbo, selain juga mendirikan kelompok musik mahasiswa Unpad GPL (Group Pencinta Lagu) yang tampil di berbagai kampus di Indonesia dan mancanegara pada dasa warsa 1971 dan 1981.

Karena itulah, perbincangan dengan penggubah "Hymne Universitas Padjadjaran" dan "Hymne Korp Siliwangi" ini tidaklah cukup hanya berkutat di sekitar persoalan proses kreatifnya sebagai penggubah lagu. Tapi, bagaimana sebenarnya ia memandang permasalahan hubungan manusia dan alam, serta kenyataan hari ini. Pada bagian inilah, sambil menguraikan pandangannya, nada bicaranya bisa tiba-tiba menjadi tinggi. Satu hal yang sangat ditegaskannya adalah betapa manusia hari ini telah kehilangan rasa dan respek terhadap alam. Bahkan, terhadap sebatang pohon pun. Berikut percakapan kami di halaman rumahnya yang sejuk di kawasan Cigadung Bandung beberapa waktu yang lalu.

Bagaimana Anda menjelaskan hubungan antara seni dan persoalan ekologi?
Tentu saja pendapat saya belum tentu benar, tapi inilah yang saya inilah yang yakini. Apa yang hilang dari relasi antara manusia di Indonesia dengan lingkungannya sekarang, terutama lingkungan yang konotasinya adalah lingkungan atau alam hijau, rasa. Semua orang sudah tahu bahwa pohon jangan ditebang sembarangan, hutan jangan dibabat. Tapi tetap masih melaksanakan tebang-menebang sewenang-wenang. Nah, persoalan mengetahui dengan bertindak, itu menjadi soal yang berbeda. Apa yang hilang? Rasa hormat, rasa respek! Dan bicara seni, apa lagikah yang kita bicarakan dari seni selain rasa? Nah,jadi kalau seni itu kemudian mengekspresikan, menumbuhkan, atau mempertajam kemampuan rasa dari seorang individu, yang pada gilirannya menjadi kemampuan rasa dari kelompoknya, dari masyarakatnya. Rasa itu akan tumbuh terhadap alam, seiring dengan pengetahuan tentang hal itu. Rasa cinta saja tanpa pengetahuan tidaklah cukup. Tapi pengetahuan tanpa rasa hormat, respek, tanpa batin dari pengetahuan itu sendiri, semuanya akan hilang! Kita tahu tentang pohon-pohonan. Misalnya, kita tahu bahwa satu pohon katanya menghasilkan oksigen untuk dua orang. Semua orang tahu. Proses asimilasi menghasilkan oksigen, kemudian oksigen itu dihirup oleh manusia, maka hiduplah manusia itu. Itu pengetahuan kita. Tapi pernahkah kita respek terhadap pohon yang menghasilkan oksigen?

Kalau begitu jika melihat berbagai permasalahan lingkungan alam kayak sekarang, mau tidak mau, seniman juga harus dipertanyakan tanggung jawabnya, dong?
Sangat! Mengapa tanggung jawab? Tidak semua orang diberi talenta seperti seniman. Kita semua punya talenta. Tapi pada seniman talenta-talenta itu menonjol. Itu kan karunia. Nah, karunia ini tentu harus dimanfaatkan hikmahnya untuk hal-hal yang positif, untuk kualitas hidup manusia.

Tapi kalau kita perhatikan kecenderungan musik sekarang sudah sangat jarang, yah, munculnya lagu-lagu yang bertemakan lingkungan hidup?
Begini. Saya agak sedikit hati-hati mengenai antara tanggung jawab dengan kewajiban. Kita punya tanggung jawab sebagai seniman. Tapi tidak menjadi wajib untuk menjadi corong bagi sebuah kampanye. Bahkan kampanye tentang lingkungan. Menurut saya tidak begitu.

Itu harus datang dari kesadaran sendiri maksud Anda?
Ya. Orang yang bergaul dengan pohonlah yang bisa mengekspresikannya melalui kedalaman karyanya secara jujur tentang pohon. Kalau tidak, maka ia cuma jadi propagandis.

Bahkan jangan-jangan dia sendiri tidak tahu, yah?
Itu yang terjadi. Mungkin saja dengan pikiran dan kecerdasannya ia tahu dan mengerti soal itu. Tapi apakah batinnya setara dengan pengetahuan itu? Nah, itu yang saya bilang, pengetahuan itu ada batinnya! Kita terbiasa dengan pikiran dan perbuatan-perbuatan yang materiil, yang lahir. Tapi kita tidak pernah memberikan kesempatan satu perangkat lagi dalam diri kita yang disebut alam batin kita. Tidak pernah!

**

LALU sambil menghirup kopi hangatnya ia menuturkan pengalamannya menyelenggarakan latihan pendidikan alam yang diikuti oleh sekelompok sarjana yang sangat faham persoalan-persoalan teologi dan filsafat. Pendidikan alam itu berlangsung di hutan. Ketika itulah salah seorang di antara mereka yang paling muda merasa heran dengan metode latihan yang diterimanya karena merasa lebih banyak menganggur. Keheranannya itu menjadi pertanyaan yang dilontarkannya pada Iwan Abdulrachman sambil mengaku bahwa ia terbiasa dengan tantangan. Menghadapi pertanyaan itu ia justru berbalik merasa heran. Di tengah alam yang ramai mengapa masih ada orang yang masih disibukkan untuk memikirkan perbuatan-perbuatan fisik?

"Padahal, di tengah alam, di tempat pohon-pohon, batu, gunung, yang konon katanya bertasbih kepada Allah, kita tidak pernah mengapresiasinya. Apresiasi itu adalah satu jalan untuk kita memperoleh nilai-nilai hidup dan mengembangkannya dalam diri kita. Pohon bertasbih, kita tidak pernah mengapresiasinya karena masih disibukkan dengan petualangan yang terbiasa ada fisiknya," paparnya. Menyeruput kopi. Mengisap rokok.

Jadi berinteraksi dengan alam itu adalah menyerahkan diri pada alam dan bergerak bersama alam?
Yang paling mahir untuk berinteraksi dengan alam secara total tentunya orang-orang asli, seperti orang Dayak.

Maksudnya interaksi dalam pengertian menghayati?
Ya. Itu yang saya bilang, inilah yang hilang dalam diri kita.

Termasuk di dunia pendidikan. Yang diperlukan adalah mengembangkan batin dari pengetahuan kita. Saya pernah baca pikiran-pikiran Imam Al Ghadzali, yang mengatakan bahwa pengetahuan itu ada lahirnya dan ada batinnya. Yang kurang kita kembangkan adalah batin dari pengetahuan itu, ruh dari pengetahuan itu.

Permasalahan lingkungan juga tak bisa dipisahkan dari berbagai soal, sebutlah, politik pembangunan. Bagaimana Anda melihat hal itu?
Saya tidak ahli untuk persoalan seperti itu. Saya hanya tahu, bahwa kita sebagai individu, kita sebagai masyarakat yang konon kata Kang Aat Suratin adalah konfigurasi dari individu-individu, kekurangan respek kepada pohon. Respek itu bukan hanya sekadar hormat. Orang baru mengerti makna respek kalau sudah dibekem. Oh! Ini pohon luar biasa, saya bilang, dan kita tidak pernah menoleh kepada pohon secara sungguh-sungguh. Ini hubungannya dengan rasa itu tadi. Di situ karya seni bisa bicara.

Persoalan rasa dan respek pada alam sepertinya pertahanan terakhir kita hanya pada masyarakat adat?
Ya. Kita sering mengatakan, belajarlah kearifan lokal. Kita belajar kearifan lokal, dan mengira belajar kearifan lokal itu sama dengan mempelajari pikiran-pikiran mereka tentang lingkungan. Jadi kalau ada sawah, maka harus ada hutan di tengah sawah itu supaya predator dari serangga tumbuh. Itu masih ilmu. Pak Oto Sumarwoto lebih jago soal itu. Apa yang kita tidak lihat dari kearifan lokal itu adalah bagaimana mereka bisa hormat pada rasa tadi. Nah, itu yang tidak terjadi pada kita sekarang.

Di era reformasi kita menghancurkan semua tatanan hormat kepada segala sesuatu, bahkan terhadap tatanan masyarakat! Lalu kita bicara kearifan lokal, padahal rasa hormat itulah yang menyebabkan mereka tidak menebang pohon. Pamali! Pamali itu kan rasa hormat yang sangat tinggi. Untuk menebang pun, dia merasa bersalah. Apa bukan itu namanya bukan rasa? Menurut saya, kalau pertanyaannya adalah apakah seni ada kaitannya dengan keadaan lingkungan? Oh, itu sangat! Terlebih di masyarakat adat. Sebaliknya dalam masyarakat modern seperti kita juga sangat tampak kehancuran itu karena rasa itu kurang. Lihat saja, orang mengira seni adalah untuk kenikmatan, menikmati musik, kemudian selesai. Sekuler sekali!

Padahal, sebuah karya itu erat hubunganya dengan pengalaman nyata si seniman, yah?
Itulah persoalan yang harus didiskusikan, siapa tahu bisa memberikan sesuatu. Tapi saya tertarik pada Iwan Fals. Beberapa waktu yang lalu di Jakarta dia bilang bahwa ia pernah diminta membawakan lagu yang bertemakan lingkungan. Ia merasa tertarik karena itu adalah masalah yang paling krusial saat ini. Tapi ia pun mengakui bahwa dirinya tidak mengerti lingkungan. Itulah kejujuran seorang Iwan Fals, sehingga ia meminta saya agar membawanya main ke hutan. Tentu saja saya bersedia, karena di situlah minat saya. (Ahda Imran)***

Biodata
Nama Lengkap : Ir. H. Iwan Ridwan Armansjah Abddulrachman
Tempat/Tgl.Lahir : Sumedang, 3 September 1947
Agama : Islam
Status : Menikah, 5 Anak, 3 Cucu
Nama Istri : Hj. Djanuarsih Sariawati, dr, M.S
Pendidikan : Fakultas Pertanian Unpad (1975)
Pekerjaan : Swasta, dan aktif dalam bidang pendidikan di alam terbuka

Kegiatan/Organisasi : Anggota Wanadri 1964-sekarang), Ketua Senat Mahasiswa Fak. Pertanian Unpad 1970-1974), Ketua Wanadri (1970-1974), Tergabung dalam kelompok musik Band Aneka Nada Yunior, Aneka Nada, dan Group Bimbo. Tahun 1971-1981 Mendirikan kelompok musik Mahasiswa Unpad GPL (Group Pencinta Lagu).

Penghargaan: Penghargaan dari Rektor Unpad (1973) atas gubahan Himne Unpad, Penghargaan Kawakami Prize dalam World Song Festival di Tokyo untuk lirik lagu "Burung Camar" (1985), Penghargaan Karya Satya dari Unpad 1987), Penghargaan Sebagai Penggubah Himne Siliwangi dari Pangdam III Siliwangi Mayjen Iwan R Sulanjana (2003) dan dari Kastaf Angkatan Darat Jendral Ryamizard Riacucu (2003). ***

diambil dari harian umum PR oleh pencinta alam

Sabtu, 02 April 2011

Bangga karena mencetak para koruptor? Lucu.

Kamis, 31 Maret 2011


"Ingat-ingat selalu kata-kataku: jadi orang bebas, jadi tuan atas diri sendiri, allround, bisa segala, tidak jadi budak orang lain, juga tidak memperbudak.. Jangan sampai jadi beban orang lain, juga jangan menerima beban tanpa guna"


Pramoedya Ananta Toer.

Jumat, 25 Maret 2011


Hadiah dari laut hanyalah embusan yang keras
dan, terkadang, peluang untuk merasa kuat
Nah, aku tak tahu banyak tentang lautan
Tapi aku tahu begitulah adanya disini
dan aku tahu betapa pentingnya itu dalam kehidupan

Tak harus menjadi kuat
Tapi untuk merasa kuat, menguji dirimu setidaknya satu kali
Menemukan dirimu setidaknya dalam kondiri manusia yang paling tua
Menghadapi batu yang buta dan tuli sendirian
Tanpa ada yang menolongmu

Kecuali tangan dan kepalamu sendiri...


ALEXANDER SUPERTRAMP - INTO THE WILD